The History Of Renault Replacement Key
Dalam diskusi memperingati Hari Kesehatan Seksual, Komisioner Komnas Perempuan Retty Rahmawati mengatakan dalam lima tahun terakhir yakni sejak 2016 hingga 2020 lembaganya mencatat ada 24.786 kasus kekerasan seksual yang terdiri dari beragam jenis. Dari angka tersebut, kasus pemerkosaan saja sebanyak 7.344 atau 29,6 persen. Kasus pemerkosaan ini terjadi di ranah publik atau komunitas dan ranah privat.businessinsider.com Ironisnya pelakunya kini bukan saja orang yang tidak dikenal tetapi juga orang-orang terdekat korban. Dari data-data yang dikumpulkan dengan mitra-mitra Komnas Perempuan, diketahui bahwa sejak 2017 mulai terjadi kasus pemaksaan aborsi. Kehamilan, yang merupakan dampak yang paling sering terjadi akibat pemerkosaan, kerap menimbulkan persoalan tersendiri yang berdampak luas pada perubahan relasi sosial karena kuatnya stigma, faktor raped ekonomi, raped kehilangan hak pendidikan atau bisa kehilangan nyawa. Ini dikarenakan banyak korban diselimuti depresi, yang jika tidak mendapat pertolongan segera maka akan berpotensi membuat korban melakukan tindakan kekerasan terhadap dirinya sendiri, termasuk bunuh diri. Menurut Retty, korban pemerkosaan yang melakukan aborsi cenderung dikriminalisasi karena aborsi dilarang oleh undang-undang atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kalau pun korban berhasil melakukan aborsi, ia kerap merasa tidak nyaman dengan situasinya. Padahal korban kekerasan seksual sebenarnya berhak mendapat layanan kesehatan, termasuk layanan aborsi yang aman. Komnas Perempuan menyerukan Kementerian Kesehatan untuk menunjuk fasilitas layanan aborsi yang aman bagi korban pemerkosaan. Dalam diskusi tersebut, dokter spesialis kandungan sekaligus Presiden ASPIRE - suatu organisasi kedokteran reproduksi se-Asia Pasifik - Prof. Budi Wiweko mengatakan pihaknya memberi perhatian besar pada kesehatan reproduksi karena berkaitan perencanaan keluarga; yang merupakan faktor penting untuk mencapai SDGs (tujuan-tujuan pembangunan jangka pendek). Ditambahkannya, pada tahun 2015 Sekjen PBB ketika itu Ban Ki-Moon menegaskan bahwa tiap perempuan adalah tiap anak, menyelamatkan setiap perempuan berarti menyelamatkan setiap anak. Karena itu, dia menekankan kesehatan reproduksi itu harus sehat secara fisik, mental dan sosial.